Permasalahan yang muncul kemudian adalah efek jangka panjang yang ditimbulkan akibat bencana terhadap kondisi psikologis masing-masing individu. Kehilangan mata pencaharian, harta benda, bahkan anggota keluarga secara bersamaan membuat kondisi psikologis seseorang menjadi labil. Informasi bencana yang begitu pervasif pada media massa dan elektronik menambah beban mental bagi individu karena masing-masing individu mengembangkan pandangan-pandangan yang terdistorsi mengenai bencana.
Ketika bencana alam terjadi maka stimulasi yang muncul merupakan stimulasi yang berlebih atau tidak diinginkan, sehingga mendorong arousal atau hambatan dalam kapasitas pemrosesan informasi. Individu yang mengalami bencana alam tidak hanya dihadapkan pada perubahan kondisi lingkungan tempat tinggalnya, melainkan juga cara hidup mereka setelah bencana, misal seorang petani yang biasanya memanen hasil sawahnya, akibat merapi menjadi kehilangan lahan garapannya, sehingga menjadi tukang bangunan sementara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Perpindahan tempat tinggal sementara di barak-barak pengungsian menimbulkan kondisi psikologis tersendiri. Individu yang tinggal di pengungsian menjadi kehilangan kontrol terhadap lingkungan, sehingga dinamika psikologis mereka terhadap privasi, teritorial, dan ruang personal menjadi tidak optimal karena kebebasan berperilaku mereka menjadi terbatas. Individu yang tinggal di pengungsian terpaksa untuk berbagi ruang personal dengan individu lain, bahkan tidak dikenal sama sekali, sehingga fungsi ruang personal untuk mendapatkan kenyamanan, melindungi diri, dan sarana komunikasi menjadi terabaikan. Kehilangan ruang personal membuat individu tidak dapat berperilaku bebas dan kurang bisa mengekspresikan emosi, sehingga kecenderungan yang muncul adalah stres.
Dalam pandangan psikologi lingkungan, seseorang akan menjadi stres ketika stressor yang muncul mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya meletusnya merapi, tsunami, gempa bumi. Respon stres yang muncul pada individu melibatkan komponen emosional, fikiran, fisiologis, dan perilaku. Adanya transaksi antara sumber stres dengan kapasitas diri menentukan reaksi stres. Jika sumber stres lebih besar daripada kapasitas diri maka stres negatif akan muncul, sebaliknya jika sumber tekanan sama dengan atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stres positif akan muncul (Helmi, 1999). Umumnya masyarakat yang terkena bencana secara langsung merespons bencana alam lebih besar daripada kapasitas diri, sehingga yang muncul pada diri seseorang adalah stres negatif, seperti psikosomatis, toleransi frustasi, kinerja turun dan lain-lain.
Ketika terjadi bencana alam maka individu dituntut untuk memodifikasi kehadiran stimulus lingkungan yang tidak seimbang yang kemudian menjadi pembiasaan secara fisik atau habituasi dan secara psikis atau adaptasi. Menurut Helmi (dalam Helmi, 1999) bahwa ketika seseorang mengalami proses adaptasi, perilakunya diwarnai kontradiksi antara toleransi terhadap kondisi yang menekan dan perasaan ketidakpuasan sehingga orang yang melakukan proses pemilihan dengan dasar pertimbangan yang rasional antara lain memaksimalkan hasil dan meminimalkan biaya.
Umumnya di Indonesia, ketika seorang individu membuat pertimbangan rasional maka faktor keluarga tidak dapat dipisahkan. Contoh, ketika anak tinggal di Jakarta karena bekerja, kemudian melihat berita di TV, bahwa tempat tinggal orang tuanya di Yogyakarta sedang mengalami bencana meletusnya Merapi, maka anak tersebut datang ke Yogyakarta untuk membawa pergi orang tuanya untuk sementara hingga kondisinya kondusif. Walaupun situasi bencana alam tidak dapat diprediksi, anak tersebut rela mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan nyawa untuk membawa pergi orang tuanya menjauhi bencana. Hal yang menarik disini jika dikaitkan dengan konsep Gilligan tentang caring adalah adanya sebuah moral code interpersonal yang “berorientasi-individu”.
Dikemukakan Turiel dan Nucci bahwa bukan kejadian yang menentukan apakah perilaku/ tindakan tertentu dilakukan oleh suatu masyarakat dalam suatu budaya, melainkan interpretasi terhadap kejadian itu. Adanya kewajiban anak menjaga orang tua sebagai bakti anak terhadap orang tua, tanpa mempertimbangkan diri sendiri. Apabila anak tersebut tidak menyelamatkan orang tua di saat kondisi masih memungkinkan dan kemudian orang tuanya menjadi korban, maka akan muncul rasa bersalah dari dalam diri anak tersebut Budaya di Indonesia mempunyai peran yang signifikan dalam pengambilan keputusan. Budaya adalah sebuah sistem dinamis yang digunakan oleh sekelompok orang yang tinggal di sebuah lingkungan yang sama untuk meng-encode dan beradaptasi dengan sekelilingnya, mencari nafkah, berkeluarga, saling berkomunikasi, dan mengatur perilaku sosial mereka.
Konsep perilaku individu tanpa sadar dipengaruhi oleh kearifan lokal dimana individu tersebut berkembang. Dalam budaya Jawa sendiri, ketika individu mengambil keputusan ada konsep mengenai rasa yang dikemukakan oleh Suryomentaram. Rasa menuntun individu untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada kemudian dipilih berdasarkan pilihan rasional. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi kepribadian individu. Suryomentaram membagi kepribadian menjadi empat dimensi: fungsi fisikal (dimensi I), emosional (dimensi II), intelektual (dimensi III), dan intuisional (dimensi IV). Ketika individu memilih berdasarkan pilihan rasional, maka individu tersebut telah mencapai dimensi III karena sudah muncul kesadaran personal dalam kognisi individu tersebut.
Ketika seorang individu mengembangkan dimensi IV, yaitu intuisional maka individu tersebut berada pada “jalan simpang tiga”, merupakan fungsi dan tingkat pengintegrasian pribadi dari dimensi III menuju dimensi IV. . Dimensi IV merefleksikan diri sendiri dengan orang lain, apabila diri sendiri tidak ingin disakiti maka jangan menyakiti orang lain, pemahaman bahwa orang lain juga memiliki perasaan yang sama ketika disakiti orang lain dengan diri sendiri akan mengontrol perilaku ketika bersosialisasi di masyarakat. Pada dimensi IV, individu mempunyai pemahaman mengenai kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Ketika individu sudah mencapai tahap ini, kemudian muncul perasaan paling benar, maka individu tersebut kembali ke dimensi III. Namun, apabila individu bisa menjaga dimensi IV, maka individu tersebut berkembang ke arah manusia tanpa ciri, yang sehat sejahtera.
Individu yang berada pada dimensi ini akan mengukur ketepatan dalam bertindak di situasi tertentu, bersifat netral, dan mampu memahami diri sendiri. Perasaan yang kemudian tumbuh pada individu tersebut adalah perasaan nyaman, tenang, dan tenteram. Dalam hubungannya di masyarakat, individu ini akan bersikap altruistik, dimana individu akan merasa bahagia ketika bisa membahagiakan orang lain, memandang bahwa orang semua orang sama. Nilai altruisme muncul karena proses olah rasa dengan kehidupan masyarakat Jawa yang menekankan rukun (guyub), seperti ungkapan dalam bahasa Jawa, ora ana kepenak liyane ngepenakake tangga. Ungkapan Jawa yang cocok untuk menggambarkan individu pada dimensi ini, yaitu Memayu Hayuning Bawana ‘Menyelamatkan dunia (tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk yang lain dan seluruhnya lingkungan, dsb.)’
Konsep rasa Suryomentaram ini dapat membantu individu dalam mengatasi stres yang muncul ketika bencana terjadi. Menurut Suryomentaram, individu bertindak atas dasar catatan-catatan pengalaman hidupnya. Dalam pengalaman setiap individu yang terjadi ada rasa yang muncul, yakni senang dan susah. Ketika rasa susah yang muncul, umumnya individu akan menolak atau berusaha mengesampingkan perasaan tersebut, sebaliknya rasa senang membuat individu berusaha keras mempertahankannya. Ketika terjadi bencana alam yang muncul pada diri individu kemudian adalah perasaan susah akibat kondisi yang menekan dan perasaan ketidakpuasan akibatnya adalah stres. Padahal kehidupan setiap individu tidak mungkin hanya ada kesenangan tanpa adanya kesusahan. Senang dan susah menyeimbangkan kehidupan manusia. Dengan senang dan susah perasaan individu diasah.
Menurut konsep Suryomentaram rasa hidup yang benar dapat dialami bila seseorang bertindak sesuai dengan 6-sa: sapenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samestine, dan sabenere. Bila kita dalam bertindak berpegang pada prinsip tersebut (dengan enak, sesuai kebutuhan, seperlunya, secukupnya, semestinya, dan sebenar-benarnya), perasaan tertekan akibat kondisi yang menekan bisa diminimalisir. Ketika terjadi bencana alam, otomatis perasaan susah yang kemudian timbul, agar perasaan tersebut tidak menimbulkan stres negatif yang berkepanjangan, individu berusaha untuk melakukan pembiasaan secara fisik atau habituasi dan secara psikis atau adaptasi.
Salah seorang ibu yang berada di pengungsian mengatakan bahwa suaminya dulu bekerja sebagai petani, akibat meletusnya Merapi, keluarga tersebut kehilangan mata pencaharian, kemudian suami ibu tersebut bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi selama di pengungsian. Apabila mengharapkan bantuan dari orang lain akan lama karena birokrasi yang sulit dengan petugas- petugas tidak bisa diharapkan, sedangkan kebutuhannya harus dipenuhi. Misalkan, ketika menginginkan baju-baju layak pakai, menurut ibu tersebut baju-baju anak yang ada saat itu merupakan baju yang sudah tidak layak pakai karena sebelumnya sudah dipilihin oleh petugas, sehingga baju yang ada yang ada tidak sesuai dengan keinginan. Oleh karena untuk memenuhi kebutuhan anaknya terhadap baju, ibu tersebut membelikan baju khusus untuk anaknya. Bagi ibu tersebut, anak-anaknya harus tetap dijaga kesehatannya, walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan. Uang yang dimiliki digunakan untuk kebutuhan yang penting bagi buah hatinya (sabutuhe), sedangkan bagi ibu itu sendiri menggunakan baju-baju yang kurang layak tersebut tidak masalah selama beliau bisa menjaga buah hatinya. Pilihan rasional ibu tersebut adalah kekhawatiran akan kondisi kesehatan buah hatinya apabila menggunakan pakaian yang kurang layak tersebut. Orang Jawa percaya bahwa dengan membuat anak senang maka akan membuat mereka lebih tahan terhadap penyakit dan jauh dari ketidakberuntungan (Subandi, 2008).
Kehilangan kontrol terhadap lingkungan bisa dikurangi dengan olah rasa hidup menurut Suryomentaram bahwa hidup yang benar adalah seimbang, ada senang maupun susah. Hidup jika diibaratkan seperti sebuah roda yang berputar, ketika senang individu berada di puncak roda dan sebaliknya ketika susah berada di bawah roda. Ketika berada di tempat pengungsian, individu menjadi kehilangan privasi, maka begitu juga individu lain. Jika menggunakan konsep rasa Suryomentaram pada situasi bencana, adanya pemahaman mengenai kondisi psikologis masing-masing individu sehingga perilaku menjadi terkontrol antara satu individu dengan individu lain maka akan tercipta sebuah perasaan nyaman, tenang, dan tenteram.
Kearifan lokal tanpa sadar bisa merupakan alternative healing bagi penyelesaian konflik dalam diri. Tanpa sadar terinternalisasi dalam kepribadian individu dalam pengambilan keputusan yang rasional. Proses adaptasi yang muncul mengurangi sumber stres sehingga berimplikasi pada munculnya stres positif yang bisa meningkatkan kehidupan pribadi seorang individu dalam menghadapi bencana alam. Beban akibat bencana alam memang berat, namun apabila ditanggung bersama-sama akan terasa lebih mudah. Strategi coping menggunakan kearifan lokal konsep rasa Suryomentaram membuat setiap individu untuk membuat keputusan yang rasional dalam mengukur ketepatan bertindak. Kehidupan masyarakat Jawa yang menekankan rukun (guyub) membuat setiap individu bisa berbagi dalam pemanfaatan berbagai sumber daya psikologis, sosial, budaya, maupun sumber daya praktis lainnya, sehingga proses healing menjadi lebih cepat.
Sumber:
Helmi, A. F. (1999). Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi Tahun VII, No. 2 Desember. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Kim, Uichol, dkk. (2006). Indigenous and Cultural Psychology: Understanding People in Context. USA : Springer.
Purnomo, K. (2008). “Bencana Alam di Indonesia Akan Meluas”, Kompas 27 November. http://nasional.kompas.com/read/2008/11/27/05384045/bencana.alam.di.indonesia.akan.meluas.
Subandi, M.A. (2008). Ngemong: Dimensi Keluarga Pasien Psikotik di Jawa. Jurnal Psikologi, Volume 35, No. 1, 62-79, hal 62-79. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar